Akibat Pemanasan Global, Danau Air Tawar Terancam Defisit Oksigen

Akibat Pemanasan Global, Danau Air Tawar Terancam Defisit Oksigen

Share

Saat iklim Bumi terus menghangat, pasokan oksigen di danau air tawar di seluruh planet Bumi terus berkurang.

Menurut sebuah penelitian terbaru, yang diterbitkan di jurnal Nature, baru-baru ini, tingkat oksigen permukaan di danau-danau air tawar utama telah turun rata-rata 5,5% selama 40 tahun terakhir. Di perairan dalam, kadar oksigen telah turun 18,6%.

Untuk kepentingan penelitian, sebagian besar pengukuran dikumpulkan dari danau di dalam zona suhu, garis lintang yang membentang antara 23 hingga 66 derajat, baik di utara maupun di selatan Khatulistiwa.

Para peneliti mensintesis lebih dari 45.000 oksigen dan profil suhu yang dikumpulkan dari 400 danau yang berbeda selama 80 tahun terakhir.

“Danau kehilangan oksigen 2,75 hingga 9,3 kali lebih cepat daripada lautan, penurunan yang akan berdampak pada seluruh ekosistem,” kata salah seorang penulis penelitian, Kevin Rose, dalam siaran persnya, seperti dikutip kantor berita UPI.

“Semua kehidupan yang kompleks bergantung pada oksigen. Ini adalah sistem pendukung untuk jaring makanan akuatik. Dan ketika Anda mulai kehilangan oksigen, Anda berpotensi kehilangan spesies,” kata Rose, yang merupakan profesor ekologi air tawar di Rensselaer Polytechnic Institute, Amerika Serikat.

Di beberapa danau, kenaikan suhu dan polusi nutrisi yang disebabkan oleh limpasan pertanian telah memicu berkembangnya cyanobacteria yang dapat memusatkan oksigen di permukaan danau air tawar, dan dapat melepaskan racun yang membahayakan keanekaragaman hayati lokal.

Danau hanya mencakup 3 persen dari luas daratan planet Bumi, tetapi mereka memiliki proporsi keanekaragaman hayati Bumi yang sangat besar.

Di seluruh dunia, danau air tawar besar dan kecil kian terganggu bukan hanya oleh hipoksia (rendahnya kadar oksigen), tetapi juga oleh peningkatan polusi nutrisi, sedimentasi, dan spesies invasif.

Dibandingkan dengan flora dan fauna di ekosistem lain, spesies air tawar telah mengalami kerugian yang cukup besar, dengan hampir sepertiga spesies air tawar terancam punah.

“Danau adalah indikator atau ‘penjaga’ perubahan lingkungan dan potensi ancaman terhadap lingkungan karena mereka merespons sinyal dari lanskap dan atmosfer di sekitarnya,” kata penulis utama penelitian, Stephen F. Jane, yang baru saja meraih gelar doktoral bersama Rose.

“Kami menemukan bahwa sistem keanekaragaman hayati yang lebih tidak proporsional ini berubah dengan cepat, menunjukkan sejauh mana perubahan atmosfer yang sedang berlangsung telah berdampak pada ekosistem,” kata Jane.

Di permukaan, penjelasan tentang kehilangan oksigen cukup sederhana. Air yang lebih hangat menahan lebih sedikit oksigen — ini hanya masalah fisika.

Namun, survei menunjukkan bahwa di beberapa danau, tingkat oksigen di permukaan telah melonjak saat cyanobacteria berkembang biak.

“Fakta bahwa kita melihat peningkatan oksigen terlarut di jenis danau tersebut berpotensi menjadi indikator peningkatan luas ganggang, beberapa di antaranya menghasilkan racun dan berbahaya,” kata Rose.

Tingkat oksigen telah menurun lebih drastis jauh di bawah permukaan danau-danau utama Bumi. Para ilmuwan menduga penurunan perbedaan kepadatan antara bagian atas dan dasar danau — menghasilkan peningkatan stratifikasi — mungkin perlu dicermati.

Peningkatan stratifikasi berarti lebih sedikit pencampuran, dan pencampuran adalah satu-satunya cara bagi oksigen untuk masuk ke perairan dalam.

Perubahan kadar oksigen air tawar tidak hanya memengaruhi keanekaragaman hayati dan ekologi, tetapi juga dapat memengaruhi siklus gas rumah kaca secara signifikan.

“Penelitian yang sedang berlangsung telah menunjukkan bahwa tingkat oksigen menurun dengan cepat di lautan dunia. Penelitian sekarang ini membuktikan bahwa masalahnya bahkan lebih parah di air tawar, mengancam pasokan air minum kita dan keseimbangan yang memungkinkan ekosistem air tawar yang kompleks untuk berkembang,” kata Curt Breneman, dekan School of Science di Rensselaer Polytechnic Institute.

“Kami berharap temuan ini membawa urgensi yang lebih besar untuk upaya mengatasi dampak perubahan iklim yang semakin merugikan,” kata Breneman.(UPI/LIG)

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *