ILO: Satu dari Empat Pekerja di Seluruh Dunia Alami Diskriminasi di Dunia Kerja

ILO: Satu dari Empat Pekerja di Seluruh Dunia Alami Diskriminasi di Dunia Kerja

Share

Podcast terbaru Organisasi Buruh se-Dunia, Internastional Labor Organization (ILO), menggaris bawahi soal diskriminasi di dunia kerja. Podcast yang dipublis Rabu Lalu (24/05) menghadirkan Christiane Kuptsch, Spesialis Kebijakan Buruh Migran senior di ILO dan Marlihan Lopes Pakar dari Universitas Concordia, Montreal, Canada, yang juga membantu ILO menulis buku soal diskriminasi tempat kerja yang bertajuk The Future of Diversity.

Disebut dalam buku itu, berdasarkan penelitian ILO bahwa 1 dari 4 pekerja menghadapi diskriminasi dalam dunia kerja.

Marlihan Lopes membenarkan hal tersebut. Ia menyebut diskriminasi dilakukan secara langsung oleh pribadi-pribadi sesama pekerja. Ada juga yang  yang dilakukan secara struktural.

Ia menyebut, dari penelitian tersebut, diskriminasi di dunia  kerja, pengaruhnya sangat besar pada kesehatan mental.

Christiane Kuptsch malah menyebut, diskriminasi tersebut telah membuat ketakutan yang sangat buruk di dunia kerja, sehingga pekerja merasa tidak nyaman di tempat kerjanya. Ia menyebut meski ketika resign menjadi jalan keluar pekerja yang didikriminasi, namun dampak psikologisnya tidak bisa dengan singkat disembuhkan.

Marlihan menambahkan, yang sangat disayangkan, sejauh ini masih banyak perusahaan yang tidak aware dengan hal ini, karena ternyata, selain perseorangan yang melakukan diskriminasi, ada pula diskriminasi yang dilakukan secara struktural.

Diskriminasi ini tidak hanya soal ras, atau tempat asal buruh, pada era kekinian, diskriminasi bisa terjadi pada mereka yang tidak berasal dari kelompok yang sama. Misal, kelompok yang sama di luar pekerjaan, atau latar belakang tempat kerja sebelumnya.

ILO sendiri telah berjuang melawan diskriminasi sejak tahun 90-an. Namun, pada kenyataanya semakin ke sini, tantangan semakin besar.

Christiane mengungkapkan, pada saat ini, dengan problem diskriminasi yang lebih kompleks, maka aksi yang lebih tepat adalah dengan membuat transformasi sosial. Dengan cara ini orang kan bisa lebih menghargai latar belakang siapapun.

Senada dengan Christiane Kuptsch, Marlihan Lopes menyebut bahwa dengan transformasi sosial, dampaknya lebih besar. Sebelum ke dunia kerja kata Marlihan, masing-masing pribadi bisa tumbuh berbaur di dalam masyarakat yang latar belakangnya berbeda dahulu. Dengan demikian, dampaknya kan terasa di tempat kerja.

Fadly salah seorang pekerja di Bandung bercerita, diskriminasi tidak hanya soal perlakuan saat bekerja. Tidak juga soal ras. Asal kelompok yang sama dengan atasan, sering menjadi alasan seseorang dipertahankan dalam perusahaan atau justru malah “ditendang.”

“Banyak kang, saat PHK jaman Covid, mereka yang latar belakangnya sama dengan bos, banyak dipertahankan. Misal pernah satu pekerjaan dulunya, pernah satu organisasi. Jadi kalau di kita, diskriminasi gak selalu soal asal atau warna,” kata Fadly dihubungi melalui pesan singkat pada Senin (29/5).

Hal senada disampaikan Fitri, warga Brebes yang sempat bekerja di Bandung. “Di kita diskriminasinya lebih ke soal latar belakang kelompok atau organisasi pak. Misal satu pekerjaan dulunya, satu bendera parpol atau organisasi apalah. Padahal itu belum tentu bikin perusahaan maju,” kata Fitri. (MPR/ENS/MIM/Foto Dok.ILO)

Share
Gogo77
Adam77
Sonitoto
https://157.245.54.14/
Kaki777
Kaki777
Kaki777
Kaki777
Kaki777
Kaki777
Kaki777
Kaki777
Kaki777
Kaki777
Kaki777
https://mydaughtersdna.org/