Sebuah penelitian baru menemukan bahwa air di udara, bukan hanya panas, berperan penting dalam mengukur pemanasan global.
Kombinasi peningkatan panas dan kelembaban dapat menyebabkan peningkatan cuaca ekstrem. Para peneliti mengatakan, ketika mempertimbangkan kelembaban dan panas, peningkatan suhu dua kali lebih besar dari perkiraan sebelumnya.
Para peneliti menyebut bahwa temperatur sendiri bukanlah cara terbaik untuk mengukur efek perubahan iklim. Mereka mengatakan menggunakan suhu meremehkan kondisi di daerah tropis dunia.
Studi tentang hal tersebut diterbitkan 31 Januari lalu dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences.
Tim peneliti mencatat bahwa energi yang tercipta dalam cuaca ekstrem, seperti badai, terkait dengan jumlah air di udara. Untuk alasan ini, tim ilmuwan memutuskan untuk menggunakan pengukuran atmosfer khusus. Ini disebut suhu potensial ekivalen, atau theta-e. Pengukuran kompleks digunakan untuk menunjukkan jumlah panas di area udara. Ini dinyatakan dalam pengukuran ilmiah untuk suhu yang dikenal sebagai derajat Kelvin.
Veerabhadran Ramanathan, salah seorang penulis penelitian tersebut mengatakan bahwa ada dua pendorong perubahan iklim: suhu dan kelembaban. “Dan sejauh ini, kami mengukur pemanasan global hanya dari segi suhu,” tambahnya
“Tetapi dengan menambahkan energi dari kelembaban, gelombang panas ekstrem, curah hujan, dan ukuran ekstrem lainnya, berkorelasi jauh lebih baik,” sambungnya.
“Udara hangat dapat menampung lebih banyak air, atau kelembaban, daripada udara dingin. Untuk setiap derajat Celcius suhu udara meningkat, ia dapat menampung tujuh persen lebih banyak air. Ketika uap air di udara menjadi cair, ia melepaskan panas atau energi,” kata Ramanathan.
Dia menambahkan bahwa uap air adalah gas penangkap panas yang kuat di atmosfer yang meningkatkan perubahan iklim.
Dari tahun 1980 hingga 2019, para peneliti mengatakan rata-rata suhu udara permukaan dunia meningkat sebesar 0,79 derajat Celcius. Tetapi ketika mereka mempertimbangkan energi dari kelembaban, para peneliti menemukan pengukuran suhu mereka meningkat 1,48 derajat Celcius. Di daerah tropis, mereka mengatakan pemanasan mencapai 4 derajat Celcius.
Ramanathan menyatakan ketika melihat suhu udara permukaan, tampaknya pemanasan paling kuat terjadi di Amerika Utara, daerah yang jauh dari daerah tropis dan di kutub.
“Tapi itu tidak terjadi. Kelembaban yang tinggi di daerah tropis menciptakan lebih banyak aktivitas badai, mulai dari badai biasa hingga badai laut yang parah,” jelasnya.
Donald Wuebbles, ilmuwan iklim di University of Illinois dan tidak terlibat dalam penelitian tersebut, mengatakan ide itu masuk akal karena uap air penting dalam curah hujan ekstrem. “Baik panas dan kelembaban sama-sama penting,” katanya.
Sementara itu, Katharine Mach, ilmuwan lingkungan di University of Miami, yang juga tidak terlibat dalam penelitian, menyebut bahwa kelembaban penting dalam membentuk dampak panas pada kesehatan dan kesejahteraan manusia, saat ini dan di masa depan.(AP/LIN)

Hobi menyusun kata dan susur gua