Kembangkan Seni Buhun Tarawangsa di Kekinian, “Ulah Sieun ku Pamali”

Kembangkan Seni Buhun Tarawangsa di Kekinian, “Ulah Sieun ku Pamali”

Share

Seni Tarawangsa dewasa ini masih belum banyak disentuh oleh kaum muda, utamanya di Kota Cimahi. Hal tersebut diungkap Mang Ujang saat membuka acara Workshop Seni Tarawangsa yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Seni Budaya dan Aksara Gentra Pamitran di Padepokan Haur Wulung, Kampung Nyalindung, Citeureup, Kota Cimahi  Selasa 5 Oktober lalu.

Menurut Mang Ujang yang juga dikenal sebagai tokoh aksara buhun itu, di Kota Cimahi memang sudah ada kelompok anak muda yang menggemari Seni Tarawangsa dengan nama Gentra Wirahma.”Namun peminat seni buhun di kalangan kaum muda belum menggembirakan,” lanjutnya.

“Pengembangan Seni Tarawangsa di Kota Cimahi diharapkan akan tumbuh dengan akan adanya fasilitas yang tengah disediakan oleh Dewan Kesenian Kota Cimahi.  Kota Cimahi akan segera memiliki gedung kesenian yang baru dan bisa digunakan untuk mengembangkan berbagai seni tradisional termasuk Tarawangsa,” kata Hermana dari Dewan Kesenian Kota Cimahi. Menurutnya, sejak didirikannya Kota Cimahi sudah memiliki komitmen dalam mengembangkan potensi seni dan budaya Sunda.

Maestro Seni Buhun Tarawangsa dari Rancakalong, Kabupaten Sumedang, Abah Abun

Dalam acara tersebut hadir pula maestro Seni Buhun Tarawangsa dari Rancakalong, Kabupaten Sumedang yang dikenal dengan nama Abah Abun. Abah Abun tidak terlalu terkejut dengan kondisi Tarawangsa di Kota Cimahi. Menurutnya, “Jangankan di Cimahi, di Rancakalong saja sebagai daerah cikal bakal pengembangan seni buhun Tarawangsa ini menghadapi hambatan yang sama. Dia juga menyambut baik adanya kelompok anak muda dari Gentra Wirahma yang menekuni seni Tarawangsa. 

Menurut Abah Abun, untuk meraih kaum muda dalam mengembangkan Tarawangsa sepertinya kita harus berani melakukan kolaborasi dengan seni-seni masa kini. “Bahkan dengan band juga kenapa tidak? Ulah sieun ku pamali,” lanjutnya. Hanya dalam melaksanakannya kita harus pandai-pandai memadu seni Tarawangsa yang hanya dilengkapi 2 waditra berdawai Rebab dan Kacapi Jentréng bernada pentatonis sedangkan seni modern menggunakan instrumen yang  nadanya diatonis. Sehingga nilai-nilai budaya yang terkandung dalam Tarawangsa tetap terjaga.

Tarawangsa memang bukan hiburan semata, namun secara filosofis merupakan ungkapan rasa syukur atas perolehan hasil bumi yang dilambangkan juga dengan Dewi Sri.  Dalam konteks hiburan pun Tarawangsa memiliki tata-titi aturan seperti pemisahan kaum perempuan dan pria. Kaum perempuan diperkenankan ikut ibing  hanya sampai pukul 12 malam, sedang selanjutnya untuk pria yang bisa sampai pukul 3 dini hari, sambil menjaga leuit (lumbung).

Di pengujung acara digelar Tarawangsa yang dimainkan oleh Rian dan Oki dari Gentra Wirahma. Tetamu yang hadir pun tak urung ngibing mengikut alun irama rebab dan kacapi. Seperti aturan tadi, tetamu prempuan dan pria bergiliran. (AR/MIM)

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *