Pencarian kapal selam Titan yang hilang selama empat hari berakhir dengan tragis. Laporan investigasi dan penyelamatan telah mengkonfirmasi bahwa kapal tersebut mengalami “ledakan dahsyat” di beberapa titik selama pelayarannya menuju bangkai kapal Titanic, yang akhirnya menewaskan kelima penumpangnya secara cepat.
Bidang puing yang terdiri dari “lima potongan besar yang berbeda dari puing-puing” dari berbagai bagian kapal selam Titan ditemukan di dasar laut oleh kendaraan yang dioperasikan dari jarak jauh, berjarak sekitar 500 meter dari haluan Titanic, kata para pejabat yang memimpin operasi penyelamatan.
Temuan ini sejalan dengan berita sebelumnya bahwa ada tanda akustik yang “konsisten dengan ledakan” yang sempat terdeteksi oleh Angkatan Laut AS pada hari yang sama ketika Titan mulai turun ke dasar laut.
Sensor dasar laut milik Angkatan Laut AS mendeteksi tanda di area umum di mana kapal itu menyelam dan kehilangan komunikasi dengan kapal induknya.
Sejumlah pakar mengasumsikan ledakan itu benar-benar terjadi pada hari pertama penyelaman. Pertanyaannya adalah: kenapa hal itu dapat sampai terjadi?
Menurut Eric Fusil, Associate Professor dari School of Electrical and Mechanical Engineering, University of Adelaide, Australia, sebagian besar kapal selam yang beroperasi di kedalaman memiliki bejana tekan yang terbuat dari bahan logam tunggal dengan kekuatan luluh tinggi. Ini biasanya berupa baja untuk kedalaman yang relatif dangkal (kira-kira kurang dari 300 meter), atau titanium untuk kedalaman yang lebih dalam.
Sebuah bejana tekan titanium atau baja tebal biasanya berbentuk bulat yang dapat menahan tekanan yang menghancurkan yang mungkin terjadi pada pada kedalaman 3.800 meter — kedalaman di mana bangkai kapal Titanic berada.
Namun, menurut Fusil, Titan berbeda. “Bejana tekannya terbuat dari kombinasi titanium dan serat karbon komposit. Ini agak tidak biasa dari perspektif teknik struktural karena, dalam konteks penyelaman yang dalam, titanium dan serat karbon adalah bahan dengan sifat yang sangat berbeda,” tulisnya dalam sebuah artikel yang dimuat di The Conversation.
Fusil menyatakan titanium bersifat elastis dan dapat beradaptasi dengan rentang tegangan yang diperpanjang tanpa regangan permanen terukur yang tersisa setelah kembali ke tekanan atmosfer. “Ia dapat menyusut untuk menyesuaikan dengan kekuatan tekanan, dan mengembang kembali saat kekuatan tekanan berkurang. Sebaliknya, komposit serat karbon jauh lebih kaku dan tidak memiliki elastisitas yang sama,” urainya.
“Kita hanya dapat berspekulasi tentang apa yang terjadi dengan kombinasi kedua teknologi ini, yang secara dinamis tidak berperilaku sama di bawah tekanan,” jelasnya.
Dalam pandangan Fusil, yang hampir pasti adalah bahwa akan ada semacam kehilangan integritas karena perbedaan antara bahan-bahan ini. Menurutnya, bahan komposit berpotensi mengalami “delaminasi”, yang mengarah pada pemisahan lapisan tulangan.
“Hal tersebut akan menciptakan cacat yang memicu ledakan seketika karena tekanan bawah air. Dalam waktu kurang dari satu detik, kapal — yang didorong ke bawah oleh beban kolom air setinggi 3.800 meter — akan segera hancur dari semua sisi,” paparnya.
Fusil menyimpulkan bahwa ketika semuanya dirancang, diproduksi, dan diuji dengan sempurna, maka kita memiliki bentuk yang cukup mendekati kesempurnaan yang dapat menahan tekanan keseluruhan yang diterapkan dari segala arah. Dalam skenario ini, jelas Fusil, material dapat “bernafas” yakni menyusut dan mengembang sesuai kebutuhan dengan kedalaman. Meledaknya Titan, tambah Fusil, berarti hal tersebut tidak terjadi.
“Ledakan itu sendiri akan membunuh semua orang dalam waktu kurang dari 20 milidetik. Faktanya, otak manusia bahkan tidak dapat memproses informasi dengan kecepatan ini,” terangnya.

Hobi menyusun kata dan susur gua