Pertengahan bulan Maret dunia fotografi diramaikan fotografer yang mengeluh karena dimintai biaya saat akan berfoto di Tamansari Yogyakarta. Kata fotografer yang ramai di Facebook itu, tarifnya terbilang mahal Rp. 250.000, untuk kamera pro.
Atas gaduhnya soal tarif berfoto dengan kamera pro di Tamansari, pihak Keraton Yogyakarta meminta maaf dan memberi penjelasan bahwa berfoto di Tamansari memang ada biayanya untuk pengambilan foto tertentu. Dijelaskan pula bahwa ketentuan pembebanan tarif tersebut sudah berlaku lama.
Tepas.id pernah berfoto di Tamansari Yogyakarta, pada 11 Desember 2020, hanya dikenai biaya Rp.3000 saja. Sebagai tanda pemegang kamera pro di Kawasan tersebut, pengelola menandai dengan kartu khusus. Bisa jadi kegaduhan yang baru saja terjadi di pertengahan Maret ini, adalah imbas kesalah pahaman.

Pengalaman Tepas.id, sebelum masuk, pengunjung diberitahukan panjang lebar hak dan kewajiban, termasuk soal penggunaan kamera pro saat berwisata. Memang untuk tarif tertentu, seperti pemotretan pre wedding, foto produk ada biaya yang lebih mahal ketimbang penggunaan kamera pro untuk jeprat-jepret wisata biasa.
Sepertinya sudah bukan hal baru, kalau sejumlah tempat menerapkan tarip khusus untuk kegiatan foto produk atau pre wedding. Beberapa tempat di Jawa Barat bahkan harga jepret buat pre wedding bisa satu jutaan.

Yang sering bikin jengkel fotografer sebenarnya adalah tempat publik yang tidak dikelola secara khusus sebagai objek wisata, tapi sering saat berfoto atau mengambil dokumentasi untuk tulisan, tapi dimintai biaya. Alasan pun bermacam-macam, sebagai copyright lah (gak paham juga emang kalo wujud taman atau arsitektur bangunan tertentu ada copyright-nya gitu?), lokasi privat lah dan banyak lagi alasan yang kadang juga gak jelas.
Untuk objek wisata bila itu memang jadi bagian dari pemasukan yang syah-syah saja sepanjang tarifnya sesuainya dengan kepentingan apa foto tersebut. Kalau tempat umum seperti mall, taman kota, tempat publik estettik untuk apa harus bayar? Kalaupun ada alasan takut dijiplak, bukan kah rata-rata tempat publik banyak yang sama design-nya.
Kalau hanya minta ijin, rasanya lumrah. Bukan birokrasi yang menyulitkan. Setidaknya sebagai etika fotografer kulonuwon, memasuki wilayah yang bukan ‘privilege’-nya untuk dijepret. Tapi kalau sudah harus bayar tentu harus ditimbang untung ruginya.
Pengelola Tempat Publik dan Wisata Sebaiknya Tawarkan Beberapa Opsi Pemotretan
Meski dimungkinkan hanya kesalah pahaman saja, ‘kasus’ yang muncul ke permukaan di Yogyakarta baru-baru ini bisa jadi pelajaran, bahwa komunikasi itu penting. Wisatawan, fotografer siapapun itu sebaiknya minta info sejelasnya saat akan beraktifitas fotografi di suatu tempat.
Pun pengelola tempat publik dan objek wisata bisa melihat hal ini sebagai masukan. Bisa jadi ad acara lain yang bisa dilakukan. Semisal memberi beberapa opsi yang bisa dipilih pengunjung.

Opsi pertama bisa berbayar dengan rupiah yang rasional. Untuk bisnis sepanjang yang Tepas.id tahu sekira Rp 250.000 – sampai 1 jutaan. Itu pun harus dijelaskan secara detail, berapa spot foto yang bisa dipakai sebagai tempat foto komersil, agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Opsi kedua dengan barter promo. Bisa saja bentuknya di foto yang dicetak tadi ada keterangan di sudut bawah nama lokasi. Ini berlaku juga jika dokumentasi berbentuk video.
Opsi lainnya bisa diambil win-win solution. Lokasi pre weddingnya gratis, namun objek wisata minta hasil foto atau videonya untuk diposting di official medsos objek wisata tersebut. Atau fotografernya memposting fotonya di medsos dengan mencantumkan promosi objek wisata.
Bisa juga dengan opsi tempat gratis namun ada pilihan model bisa menyewa asesoris atau kostum yang senada dengan lokasi yang dijadikan tempat foto komersil tersebut. (MIM)

Broadcaster radio senior, pecinta musik, fotografi dan trekking.