Sampah terus kita produksi setiap hari. Problemnya yang paling utama adalah bagaimana cara kita mengelolanya sehingga sampah yang kita hasilkan tidak semakin membebani lingkungan. Ini yang harus sama-sama kita carikan solusinya.
Berdasarkan data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), yang diakses pada Jumat (23/12/2022) siang, ditilik dari jenis sampahnya, komposisi sampah secara nasional saat ini terdiri dari sampah sisa makanan (42,3 persen), kayu/ranting/daun (17,4 persen), plastik (16,0 persen), kertas/karton (12,5 persen), kain (2,0 persen), kaca (1,7 persen), logam (1,7 persen), karet/kulit (1,4 persen), dan lainnya (8,0 persen).
Adapun berdasarkan sumber asal sampahnya, komposisinya terdiri dari sektor rumah tangga (49,7 persen), pasar tradisional (15,3 persen), fasilitas publik (9,1 persen), pusat perniagaan (7,0 persen), perkantoran (6,1 persen), dan lainnya (9,4 persen).
Menurut Muhammad Reza, Manajer Zero Waste Cities dari Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB), Bandung, pengelolaan sampah kita selama ini lebih banyak hanya mengandalkan metode kumpul, angkut, dan buang.
“Alurnya saat ini yakni dari sumber, sampah diangkut, dibuang ke tempat penampungan sementara (TPS), kemudian dari TPS diangkut lagi ke tempat pemrosesan akhir (TPA). Permasalahan bertambah buruk ketika sampah dibuang secara liar, sembarangan. Misalnya, ke sungai atau juga dibakar,” urai Reza, saat berbicara di acara talkshow bertajuk “Zero Waste to Zero Emissions”, yang digelar secara daring, di Bandung, Rabu (21/12/2022) petang.
Reza mengatakan bahwa sampah dari sumber bisa ditangani lebih dahulu. Menurutnya, di sinilah pentingnya pemerintah hadir dan juga masyarakat agar lebih aktif dalam penanganan sampah secara baik dan benar.
“Secara nasional, di negara kita sampai saat ini belum ada kebijakan, kelembagaan, regulasi, dan pendanaan terkait pengumpulan sampah terpilah. Meski demikian, di beberapa kawasan/kota sudah ada yang mempraktikkannya,” jelasnya.
Dalam pandangan Reza, musuh utama kita sebetulnya sampah tercampur, yang banyak menimbulkan perkara.
“Sarana dan prasarana menjadi kumuh karena percampuran sampah organik dan anorganik. Percampuran ini juga menimbulkan bau, penyakit, dan lain-lain. Selain itu, juga tidak aman bagi petugas sampah,” paparnya.
Lebih jauh Reza menerangkan bahwa YPBB saat ini memiliki program utama Zero Waste Cities, dengan aktivitas antara lain mengedukasi warga, mendorong pengembangan infrastruktur pengolahan sampah terpilah, membantu pembuatan masterplan rencana teknis pengelolaan sampah di tingkat kelurahan, pelatihan petugas pengumpul sampah, serta mendorong regulasi dan penegakan hukum skala kota/ kabupaten.
“Tata kelola sampah yang ideal mesti melibatkan aspek kelembagaan, operasional, pembiayaan, regulasi, dan peran publik,” beber Reza, seraya menambahkan bahwa sampah itu mesti terpilah, baik pengumpulannya, pengangkutannya, maupun pengolahannya.
“Sangat sia-sia ketika warga sudah memilah, tapi petugas sampah kemudian mencampur lagi,” sambungnya.
Mengurangi emisi gas rumah kaca
Salah satu manfaat dari pemilahan sampah yaitu bisa ikut mengurangi emisi gas rumah kaca. Seperti kita ketahui, sampah, terutama sampah organik, membusuk di TPA dan dapat mencemari tanah serta air. Selain itu, juga menghasilkan metana, gas rumah kaca yang 87 kali lebih kuat daripada CO2.
Menurut Fictor Ferdinand, peneliti Zero Waste Cities dan Refill Center, yang juga tampil jadi pembicara pada acara “Zero Waste to Zero Emissions“, pengurangan sumber sampah dan pengelolaan sampah secara maksimal akan membuat jumlah sampah yang masuk ke TPA seminimal mungkin.
Ferdinand mengatakan bahwa secara umum ada sekurangnya tiga skenario dalam pengelolaan sampah.
Pertama, business as usual. Dalam skenario ini, tidak ada upaya dalam mengurangi atau meningkatkan pengelolaan sampah sehingga sebagian besar sampah yang dihasilkan langsung dikirim ke TPA.
Kedua, incinerator. Pada skenario ini, ada sedikit upaya dalam mengurangi sampah karena sebagian besar sampah yang terkumpul diproses secara termal (incinerator dan refuse-derived fuel) sehingga yang masuk ke TPA adalah sisa atau residu dari pembakaran sampah.
Ketiga, strategi zero waste. Pengurangan sumber sampah dan pengolahan sampah secara maksimal sehingga jumlah sampah yang masuk ke TPA seminimal mungkin.
Jika strategi zero waste ini mampu dilaksanakan dengan baik, menurut Ferdinand, tingkat pengurangan sampah TPA dapat mencapai 90-95 persen untuk sampah organik, sehingga emisi di TPA (landfill) dapat berkurang pula.
Sementara itu, Isna Muflihah, asisten proyek Zero Waste Cities, dan salah satu anggota tim penyusun buku Refill Store Toolkit 101, menjelaskan bahwa emisi gas rumah kaca selain ditimbulkan dari sampah, juga ditimbulkan dari produksi plastik.
Mengutip data dari Center for International Environmental Law, Muflihah menyebut bahwa emisi karbon yang dihasilkan dari produksi plastik pada tahun 2019 yaitu 0,86 gigaton CO2e, setara dengan 189 pabrik batubara/PLTU batubara.
“Pada tahun 2050 emisi karbon dari produksi plastik diperkirakan sebanyak 2,80 gigaton C02e, setara dengan 615 pabrik batu bara/PLTU batubara,” kata Muflihah.
Muflihah menegaskan bahwa untuk menekan produksi, distribusi, dan konsumsi plastik dapat dilakukan antara lain dengan menerapkan prinsip kemasan/wadah yang dapat digunakan kembali (reuse) atau produk yang dapat diisi ulang (refill).

Bloger paruh waktu