Pakar keamanan siber dari CISSRec, Pratama Persada, menjelaskan bahwa ancaman siber pada tahun 2022 tak akan jauh seperti tahun 2021, yaitu pencurian data dan ransomware.
“Pencurian data atau serangan siber memang sangat sulit dicegah. Namun, itu semua bisa ditekan dengan pendekatan hukum lewat UU, juga pendekatan SDM dan teknologi. UU Perlindungan Data Pribadi menjadi pembahasan pemberitaan selama tahun 2020-2021 karena begitu banyak kebocoran data dan masyarakat tidak bisa apa-apa karena tidak ada instrumen yang melindungi,” jelas Pratama melalui keterangan resminya, yang dikutip kantor berita Antara.
Menurutnya, pencurian data masih akan menjadi tren di tahun 2022. Data dalam jumlah masif semakin dibutuhkan oleh banyak pihak, baik untuk kegiatan legal maupun ilegal. Meski hal tersebut terjadi secara global, Pratama mengatakan Indonesia harus serius mengatasi permasalahan ini mengingat jumlah pemakai internet di tanah air menembus 200 juta orang.
Merujuk pada data dari Badan Siber danSandi Negara (BSSN), serangan yang tercatat sampai Oktober 2021, jumlahnya sudah lebih dari satu miliar, dua kali lipat lebih banyak dibanding tahun 2020, yang juga berlipat lebih banyak dibandingkan tahun 2019, sebelum ada pandemi.
Pratama menambahkan, ancaman ransomware juga akan terus tumbuh, serangan tersebut diperkirakan akan meningkat di industri kritis di mana membayar penjahat siber terpaksa dilakukan untuk melindungi keamanan dan keselamatan data demi keberlangsungan institusi atau perusahaannya.
“Di tahun 2022, prediksi berdasarkan tren global yang ada dengan melihat pola penyerangan dan inovasi teknologi yang terus berubah, maka serangan ransomware diproyeksikan bakal meningkat, hingga deepfake, juga masalah kerentanan perangkat IoT yang kemungkinan akan menambah ancaman terhadap keamanan siber,” terangnya.
Pratama menambahkan peristiwa seperti bocornya data institusi pemerintah dari Polri, BPJS Kesehatan, e-HAC, dan banyaknya peretasan pada web pemerintah diharapkan bisa ditekan pada tahun mendatang sehingga meningkatkan kepercayaan dunia internasional pada Indonesia.
“Padahal RUU PDP sudah prolegnas pada tahun 2021, tapi hingga saat ini masih belum nampak untuk disahkan. kendalanya yaitu karena RUU PDP saat ini adalah di Komisi PDP itu sendiri, belum ada kesepakatan antara DPR dan Kominfo,” tegasnya.
Belum lagi isu Metaverse, yang menurutnya, menjadi tantangan serius apakah negara mempunyai regulasi yang cukup untuk mengatur hal tersebut.
“Ini kan seperti tanah tapi di wilayah siber. Bagaimana regulasinya, apakah kita siap atau tidak, masih ada waktu 1-2 tahun untuk negara siap menghadapi ini,” ujarnya.
“Jika negara tidak siap, maka masyarakat akan secara otodidak dan otomatis masuk tanpa bekal apa pun. Ini berbahaya karena bisa menyedot potensi ekonomi kita, transaksi terjadi di metaverse misalnya tanpa melewati negara,” pungkasnya.(ANT/RAN)

Hobi menyusun kata dan susur gua