Penelitian: Depresi Dapat Jadi Sinyal Serangan Stroke

Penelitian: Depresi Dapat Jadi Sinyal Serangan Stroke

Share

Sementara banyak orang menderita depresi setelah stroke, sebuah penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa depresi sering terjadi sebelumnya dan mungkin merupakan tanda peringatan.

“Penelitian ini menggarisbawahi mengapa dokter perlu memantau gejala depresi jangka panjang pada orang yang pernah mengalami stroke,” kata penulis penelitian Maria Blöchl dari University of Münster, di Jerman.

Untuk penelitian ini, Blöchl dan rekan-rekannya mengamati lebih dari 10.000 orang dewasa tanpa riwayat stroke (usia rata-rata, 65). Selama sekitar 12 tahun masa tindak lanjut, 425 mengalami stroke. Pasien-pasien ini dibandingkan dengan lebih dari 4.200 orang dengan latar belakang serupa yang tidak mengalami stroke.

Para peserta penelitian disurvei setiap dua tahun. Mereka ditanya apakah mereka pernah mengalami gejala depresi dalam seminggu terakhir, termasuk perasaan kesepian, kesedihan, tidur gelisah, atau perasaan bahwa segala sesuatunya sulit dicapai.

Survei mengungkapkan bahwa gejala depresi sering mendahului stroke dan memburuk setelahnya.

Sementara kedua kelompok memiliki skor yang sama dari enam tahun sebelumnya, seiring berjalannya waktu, peserta yang akan menderita stroke menjadi semakin tertekan, sampai mereka jatuh sakit. Demikian penulis penelitian menjelaskan.

“Depresi adalah salah satu masalah yang paling mendesak pada orang yang mengalami stroke dan sangat umum sehingga disebut sebagai depresi pasca-stroke,” kata Blöchl dalam rilis beritanya.

“Penelitian kami menemukan gejala depresi tidak hanya meningkat secara nyata setelah stroke, namun juga ditemukan bahwa orang telah mengembangkan beberapa gejala depresi bahkan sebelum stroke terjadi.”

Dalam penilaian pra-stroke, 29% orang yang akan mengalami stroke memenuhi kriteria kemungkinan depresi, dibandingkan dengan 24% dari mereka yang tidak mengalami stroke. Pada saat stroke, 34% memenuhi kriteria kemungkinan depresi, para peneliti menemukan.

“Ini menunjukkan bahwa peningkatan gejala depresi sebelum stroke sebagian besar merupakan perubahan halus dan mungkin tidak selalu dapat dideteksi secara klinis. Tetapi, bahkan sedikit peningkatan gejala depresi, terutama suasana hati dan gejala yang berhubungan dengan kelelahan, mungkin merupakan sinyal bahwa stroke akan segera terjadi,” kata Blöchl.

Apakah perubahan pra-stroke ini dapat digunakan untuk memprediksi siapa yang akan mengalami stroke masih belum jelas. Dia mengatakan penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mempelajari dengan tepat mengapa gejala depresi terjadi sebelum stroke.

Temuan ini dipublikasikan secara online Rabu (13/7/2022) di jurnal Neurology.(UPI/WAK)

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *