Infeksi serius pada masa bayi tampaknya meningkatkan risiko gangguan spektrum autisme pada anak laki-laki. Hasil penelitian yang diterbitkan oleh jurnal Scientific Advances menyimpulkan hal tersebut.
Menurut peneliti, infeksi yang membuat anak-anak ini sakit termasuk antara lain flu, infeksi kulit yang parah, infeksi jamur pada paru-paru, keracunan makanan karena bakteri, batuk rejan dan penyakit tangan, kaki dan mulut.
Data penelitian menunjukkan, dari lebih dari 3,6 juta anak diteliti, hampir 23.000 didiagnosis dengan gangguan spektrum autisme — sekitar 4.400 perempuan dan 18.200 laki-laki.
Para peneliti mengatakan di antara anak laki-laki yang didiagnosis dengan gangguan spektrum autisme antara usia 18 bulan dan 4 tahun, ada prevalensi infeksi parah yang lebih tinggi yang memerlukan rawat inap.
Para peneliti mengatakan temuan mereka mendukung penelitian sebelumnya yang menunjukkan infeksi parah, dan efeknya pada sistem kekebalan anak-anak, meningkatkan risiko kondisi neurologis.
Padahal, menurut para peneliti, banyak dari infeksi tersebut dapat dicegah dengan vaksinasi.
“Kami sangat menyarankan bahwa orang tua harus memvaksinasi anak-anak mereka untuk menghindari infeksi serius yang dapat meningkatkan kemungkinan autisme, dan bahkan mungkin gangguan kejiwaan lainnya,” kata salah seorang penulis penelitian, Alcino J Silva, kepada kantor berita UPI.
“Hal ini dapat dicegah, dan kita harus melakukan segala yang kita bisa untuk melawan kampanye informasi yang salah yang bertanggung jawab atas munculnya kembali penyakit masa anak-anak yang dianggap musnah,” sambung Silva, yang adalah seorang profesor ilmu neurobiologi, psikiatri, dan perilaku di Universitas California.
Sekitar satu dari 54 anak di Amerika Serikat didiagnosis dengan gangguan spektrum autisme, yakni serangkaian kondisi perkembangan saraf yang mempengaruhi pembelajaran dan perilaku.
Menurut Eunice Kennedy Shriver National Institute of Child Health and Human Development, penyebab gangguan ini tidak diketahui, dan kemungkinan ada penyebab yang berbeda pada anak yang berbeda.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa risiko gangguan spektrum autisme diturunkan dalam keluarga, sementara yang lain menunjukkan penyebab lingkungan, seperti paparan bahan kimia beracun.
Namun, penelitian Silva bukanlah penelitian pertama yang menghubungkan infeksi pada masa anak-anak dengan peningkatan risiko gangguan kesehatan mental dan perilaku.
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa virus yang ditularkan dari ibu ke anak sebelum lahir dapat meningkatkan risiko bayi untuk gangguan spektrum autisme atau skizofrenia di kemudian hari.
Untuk keperluan penelitian, Silva dan rekan-rekannya menganalisis catatan medis lebih dari 3,6 juta anak dan membandingkan prevalensi infeksi serius yang memerlukan rawat inap di masa anak-anak di antara mereka yang memiliki dan tanpa gangguan spektrum autisme.
Selain itu, mereka menggunakan tikus yang disuntik dengan bahan kimia yang mensimulasikan infeksi virus selama masa bayi dan membandingkan keterampilan interaksi sosial mereka sebagai orang dewasa dengan tikus yang tidak disuntik dengan bahan kimia.
Para peneliti menyatakan selain prevalensi infeksi serius yang lebih tinggi di antara anak-anak laki-laki yang didiagnosis dengan gangguan spektrum autisme, tikus yang terinfeksi pada masa bayi cenderung tidak menunjukkan perilaku “interaksi sosial normal” dibandingkan dengan tikus yang tidak terinfeksi.
“Infeksi mengaktifkan mekanisme di otak yang berinteraksi dengan perubahan gen atau mutasi yang mempengaruhi anak-anak untuk autisme,” jelas Silva.
“Mutasi ini sendiri mungkin tidak menyebabkan autisme, tetapi bersama dengan infeksi yang kuat, yang memerlukan penanganan medis, hal tersebut dapat meningkatkan kemungkinan autisme,” tambahnya.(UPI/LIG)

Hobi menyusun kata dan susur gua